Rabu, 25 Juni 2014

Kedewasaan dalam Kepemimpinan

Menjadi seorang pemimpin adalah mimpiku sejak kecil. Suatu kebanggaan aja sih menurutku ketika banyak orang dalam suatu kelompok percaya sama seseorang dalam kelompok itu untuk memimpin mereka. Atau mungkin juga karena aku si "minoritas" ini berada di tengah arus "mayoritas" yang akhirnya bermimpi untuk dapat menjadi pemimpin bagi kaum itu agar tidak ada lagi penindasan bagi kami, minoritas.

Well, terlepas dari kasus di atas, aku punya sedikit cerita menarik tentang kepemimpinan dalam salah satu organisasi yang sempat aku masukin, namanya "Bapema" singkatan dari Badan Pers Mahasiswa.
Aku bangga sempat masuk dan belajar banyak hal di dalamnya. Tidak hanya kemampuan dalam bidang jurnalistik, namun juga kemampuan dalam berorganisasi, manajemen kepribadian, bersosialisasi, bertanggungjawab, komitmen, dan arti sebuah kepemimpinan.



Kasus terbesar dalam hidupku selama aku bergabung dalam organisasi itu adalah ketika pemimpin kami (Aldias Akmal Dita - biasa dipanggil Dias) pergi begitu saja meninggalkan kami, tanpa alasan yang jelas. Well, dia memang sempat beralasan bahwa dirinya mempunyai penyakit syaraf yang luar biasa hebat, mematikan, dan membuatnya harus mengundurkan diri (secara sepihak) untuk fokus menghadapi penyakitnya. Namun, dia tidak pernah mau diminta pertanggungjawaban atas keputusannya tersebut. Dia tidak mampu menunjukkan surat keterangan bahwa ia benar menderita penyakit syaraf mematikan. Dia juga memutarbalikkan fakta ketika mediator kami ingin membantu kami menyelesaikan masalah "hilangnya figur kepemimpinan". Tidak cukup disitu, salah satu hal yang cukup membuat kami geram adalah ditengah kondisi (yang katanya) sakit berat itu, dia masi mampu menyelesaikan skripsi (yang katanya menjadi momok bagi mahasiswa angkatan akhir).

Mungkin jika kita lihat dari sudut pandang yang positif, kondisi penyakit nya masih lebih dapat mentolerir sulitnya menghadapi skripsi dibandingkan sulitnya menjadi pemimpin dalam suatu organisasi.

Namun, jika dilihat lebih lanjut, jika memang ia mempunyai penyakit syaraf yang begitu parahnya, mematikan jika ia terus melanjutkan menjadi seorang pemimpin dalam organisasi kami, mengapa harus mengundurkan diri secara sepihak?
Mengapa tidak melakukan pengunduran diri secara terbuka dalam suatu forum?

Entahlah.
Hanya dia dan Tuhan yang tau jawabannya




So, what's next?

Traumakah aku?
Atau menjadi ikut dalam drama penyakit seorang Aldias Akmal Dita?

Tidak.
Aku tidak se"anak kecil" itu.

Aku bersyukur pernah mengalami hal busuk seperti itu.
Mungkin, jika bukan karena hal busuk itu, aku tidak tau arti kepemimpinan di dunia ini lebih dalam.
Mungkin, jika tanpa dia, yang pengecut (menurutku), aku tidak pernah merasakan sakitnya dikhianati oleh orang yang kita percaya memimpin kelompok kita.
Mungkin, jika tanpa dia, yang pergi begitu saja meninggalkan kami (BAPEMA Periode 2013) aku tidak dapat belajar arti kedewasaan.

Ya, kedewasaan.
Pembelajaran hidup yang aku dapat di luar kampus, bahkan di luar keluargaku, pelajaran yang aku dapat di situ, BAPEMA.

Dewasa bukan semudah kata - katanya.
Dewasa adalah kondisi ketika kamu masih bisa tersenyum bahagia melihat situasi terburuk dalam hidupmu.
Dewasa adalah kondisi dimana kita harus menjadi "orang tua" bagi mereka yang mungkin seharusnya menjadi sosok yang harus dituakan.
Dewasa adalah kondisi dimana kita harus bisa merasakan nikmatnya kopi yang pahit itu.
Ya, dewasa .....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar