Kamis, 02 Oktober 2014

Bahagia itu Sederhana

Ada seorang sahabat yang bertanya "Kak, kayaknya kamu bahagia terus ya?" dan aku pun hanya bisa tersenyum. Mungkin ia belum mengerti bahwa bahagia itu sederhana, tidak dicari, namun selalu ada ketika kita menyadarinya.

Ya, bahagia itu sederhana. Bukan masalah banyaknya uang yang kita miliki, atau pun bukan mengenai jumlah harta yang ada, namun mengenai kepuasan lahir dan batin. Secara sederhana, bahagia itu ada ketika kita merasa kita bahagia, bukan karena kita mencari dimana letak kebahagiaan.



Bersyukur. Ya, bersyukur merupakan salah satu cara untuk melihat kebahagiaan dalam hidup kita. Ketika kita mensyukuri segala hal yang telah ada dalam hidup kita. Bukan dengan terus melihat rumput tetangga yang selalu nampak lebih hijau. Ya, bersyukurlah atas apa yang telah diberikan oleh sang pencipta, karena seburuk apapun hidupmu, itu adalah yang terbaik yang telah Ia berikan.

Hukum karma. Ya, aku percaya akan adanya hukum karma. Kita hidup di dunia ini pun atas karena karma kita. Sama halnya ketika kita menanam benih jagung, maka kelak jagung lah yang akan kita tanam. Sederhana, ketika kita menyadari dan percaya adanya hukum karma, kita tidak akan selalu menyalahkanNya atas apa yang kita peroleh, baik dan buruknya semua itu karena adanya karma dari kita, bukan salahNya ataupun salah makhluk lain.

Mencintai diri sendiri. Tidak semua orang mencintai dirinya dengan tulus, sama seperti ia mencintai kedua orang tuanya, sahabat, saudara, maupun pacar. Ya, tidak semua orang menyadari bahwa ketika kita mencintai diri kita sendiri dengan tulus maka akan memunculkan kebahagiaan itu sendiri. Salah satu cara sederhana untuk mencintai diri kita sendiri adalah dengan menjadi diri sendiri. Memakai topeng orang lain hanya untuk menyenangkan hati orang lain agar kita menjadi bahagia adalah salah. Bahagia itu kita yang punya dan kita yang buat, bukan orang lain.


Aku bahagia dengan duniaku, dengan diriku sebagai seorang anak perempuan. Aku bahagia dengan duniaku, dengan jalan hidup sebagai anak tengah yang harus menjadi adik sekaligus kakak. Ya, aku bahagia dengan kekuranganku, dengan banyaknya cibiran yang diberikan padaku, dengan banyaknya masalah yang menimpaku, dengan hal buruk yang mungkin tidak semua orang rasakan, aku bahagia, aku bersyukur, karena seburuk - buruknya hidupku, aku masih punya Tuhan besertaku. Ya, bahagia itu sederhana.

Senin, 29 September 2014

Arti Seorang Ibu

21 tahun. Ya, selama itulah aku berdosa. Berdosa yang sangat besar terhadap Ibu, yang biasa aku sebut Mama. Mama adalah wanita paling hebat yang pernah aku kenal di dunia ini. Mama adalah seorang wanita hebat yang telah melahirkanku, mendidikku, dan membesarkanku hingga detik ini. Mama juga yang mengorbankan egonya untuk menjadi seorang wanita karir demi menjaga aku hingga detik ini. Namun aku? Aku terlalu lama untuk menyadari arti penting seorang Ibu. Ya, aku terlalu sering melupakan bahwa Mama adalah seorang Ibu, Ibu yang mempunyai banyak arti, bahkan mungkin tidak terhingga untuk anaknya.

Waktu aku berumur 1 tahun....
Mungkin aku nggak bisa inget kenakalan apa yang udah aku perbuat di tahun pertama aku ada di dunia ini. Yang aku tau, sampe mama hamil aku, mama masih kerja sebagai seorang perawat di salah satu rumah sakit bersalin di Semarang. Ya, mama juga merupakan salah satu pegawai teladan yang jadi kesayangan banyak pasien. Tapi, semenjak aku lahir, mama lebih milih buat resign. Ya, begitu sayangnya mama sama aku, ia ingin meluangkan waktunya, 24 jam hanya demi mengurus aku. Tidak seperti ketika ia harus membagi waktu antara bekerja dan mengurus kakak. Namun aku? Aku masih saja menyakiti mama dengan tangisan ku akibat lemahnya kondisi tubuhku di satu tahun pertamaku di dunia ini. Ya, mama cerita aku sering banget sakit. Bahkan pernah ada dokter yang ngevonis aku bakal jadi anak dengan keterbelakangan mental. Mama cuma bisa nangis, berharap apa yang dokter bilang itu nggak bener. Dan ternyata, Tuhan itu baik, aku bisa ngelewatin masa - masa kritis aku dan hidup normal layaknya anak berumur 1 tahun.

Waktu aku merengek ingin sekolah...
Ya, aku masih inget banget, waktu aku masih berumur kira - kira 3 tahun, aku udah pengen banget bisa sekolah. Dari mulai sok - sok an main guru - guru an sama temen sekompleks, sampe sok jadi model iklan tas ransel. Ya, waktu itu mama sabar banget ngasi aku pengertian kalo aku belum cukup umur buat sekolah, aku masih harus sabar lagi buat bisa masuk sekolah, seenggaknya sampe umur aku 5tahun.

Waktu aku mulai sekolah..
Aku yang lahir sebagai anak bungsu waktu itu bener - bener dimanja, semua yang aku pengen selalu diturutin. Sampe akhirnya mama hamil adikku. Bukan, aku bukannya iri bakal dapet saingan baru. Cuma, karna sifat manja aku yang berlebihan, aku masih terus mau dimanja - manja sama mama yang dalam posisi hamil calon adik, ya kalo nggak minta digendong, ya minta dipangku. Alhasil, mama gagal ngelahirin 2 calon adikku. Tapi, mama nggak pernah marahin aku. Mama dengan sabar ngajarin aku dan ngejelasin, kalo aku udah mau jadi kakak, aku nggak boleh manja - manja lagi. Dan akhirnya setelah 7 tahun jadi anak bungsu, aku akhirnya dapet adik perempuan yang lucu di umurku yang ketujuh.

Waktu aku mulai remaja..
Begitu sabarnya mama ngadepin tiga orang anak perempuannya, terutama aku. Ya, masa puber menjadikan aku sosok yang sangat keras dan penuh emosi. Bahkan pernah juga aku memarahi mama dan membentaknya hanya karna aku nggak boleh maen sama temen - temen. Aku yang masih labil waktu itu merasa jenuh selalu dalam kurungan mama dan predikat "anak rumahan". Sampe akhirnya untuk pertama kalinya aku lihat mama nangis, nggak marah, cuma natap aku tajam dan pergi gitu aja ke kamarnya. Ya, aku berdosa. Dosa besar karna nggak ngebales semua cinta kasihnya dengan hal yang setimpal. Beruntung, aku juga punya seorang Papa yang luar biasa sabarnya. Papa yang ngajarin aku, aku nggak seharusnya bersikap kasar dan galak sama orang yang udah ngelahirin aku bahkan rela ngorbanin nyawaku buat aku. Dan disitu lah titik balik aku sadar, aku berdosa. Dosa besar. Semenjak itu aku berjanji buat lebih merhatiin mama, lebih sayang mama, dan bakal ngorbanin semuanya demi mama, buat nebus dosaku. Ya, aku tau, dosa emang nggak bakal bisa dihilangin, tapi setidaknya aku sudah berusaha buat nutup dosa - dosaku dengan sikap tobatku.

Waktu aku mulai dewasa,,,
Ya, semnjak peristiwa itu, aku udah nggak pernah peduli lagi sama ejekan temen - temen. Bahkan prinsipku adalah lebih baik aku nggak punya temen, daripada harus nggak punya mama. Ya, mama adalah segalanya bagiku di dunia ini. Mama adalah teman, sahabat, dan segalanya. Kalo bukan karna kesabaran dan pengorbanan mama, aku nggak mungkin ada di dunia ini. Tapi sayangnya, aku harus hidup mandiri setelah kuliah. Berat, berat banget. Mungkin karna mama yang sabar ngadepin permintaan aku buat makan ini itu. dan setelah nge kost, aku harus makan makanan yang itu - itu aja, makanan yang nggak dijual di sekitar kampus karna emang cuma mama  yang bisa masakin. Atau mungkin kehilangan temen maen, karna sampe sebelum aku ngekost, yang maen sama aku setiap aku bosen ya cuma mama. Ya, aku adalah anak culun, anak rumahan, dengan orang tua yang ngebesarin anaknya dengan over protective. Sempet sedih, sempet juga nyalahin mama papa dengan anggapan "Ah, kalo aja dulu aku dibebasin bergaul, maen sama mereka, gak cuma maen sama mama papa, pasti aku nggak bakal kesepian kayak gini". Ya, itu dulu, waktu aku pertama kali dilepas ke dunia luar. Berasa jadi anak ayam yang biasanya hidup di kandang ayam tapi tau - tau dikeluarin gitu aja dari kandang. Banyak banget pelajaran yang akhirnya ngedewasain aku secara nggak langsung. Ya, salah satunya adalah ketika aku akhirnya bisa secara mandiri nyelesein masalahku, tanpa harus curhat atau ngebebanin mama dengan hal yang nggak penting.




Ya, mama adalah segalanya dalam hidupku. Bukan hanya aku, aku percaya semua anak di dunia ini pasti bangga dengan wanita cantik yang udah ngorbanin seluruh jiwa raganya hanya untuk melahirkan, mendidik, dan membesarkan anaknya. Dan buat kamu, yang ngebaca tulisan ini tapi masih ngerasa wanita yang udah ngelahirin kamu nggak sehebat yang aku bilang, percayalah, ia adalah yang terbaik yang pernah ada dalam hidupmu. Ya, aku tau, mungkin nggak semua orang beruntung mempunyai ibu yang mampu menunjukkan rasa sayangnya secara langsung kayak mama aku, tapi seburuk apapun cara seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya, yang pasti Ibu melakukannya hanya untuk yang terbaik bagi seorang anaknya....

Sabtu, 27 September 2014

Kepemimpinan

Menjadi seorang pemimpin itu nggak gampang. Bukan hal yang mudah untuk mimpin suatu kelompok, bertanggung jawab dan berkomitmen untuk menjadi “kepala” pada suatu kelompok. Menjaga keutuhan suatu kelompok dengan memimpin dari awal berdiri sampe akhir pun suatu hal yang sangat sulit. Buat aku, bisa dipercaya jadi pemimpin adalah satu kehormatan tersendiri. Makanya, buat ngembangin jiwa kepemimpinan yang baik, aku nggak pernah berhenti belajar dari sekelilingku.



Ada Beberapa sosok di sekelilingku yang mengajariku tentang arti kepemimpinan, yaitu diantaranya :

  1. AyahMungkin bagi sebagian orang, “kekerasan” sangat diperlukan dalam menciptakan wibawa dan ketegasan dalam memimpin. Tapi tidak untuk Papa, sebutan bagi seorang pria yang telah sabar mendidik dan menjaga aku, membimbing aku sejak lahir hingga detik ini. Ya, Papa yang ngajarin aku buat selalu bersikap tegas tapi tidak dengan cara kekerasan. Papa juga yang ngajarin aku, nggak semua cara yang berbau “kekerasan” itu  bakal ngebangun wibawa seorang pemimpin. Dan semua itu ia buktikan dengan ketegasannya menjadi kepala keluarga dengan tidak pernah berperilaku kasar kepada istri dan anak-anaknya. Ya, aku merasa beruntung. Papa belum pernah ngedidik anak – anaknya dengan bahasa kasar, ngebentak, bahkan mukul pun nggak. Namun bukan berarti, kami sebagai anak dan istrinya tidak takut dan segan, bahkan tidak menghormatinya, justru Papa merupakan satu – satunya orang yang berwibawa dan kami segani di keluarga. Dari situlah aku belajar, sikap tegas dan wibawa seorang pemimpin bukan lahir dari “kekerasan”.
  2. Ibu. Seorang wanita yang mau bersusah payah mengandung, mengorbankan nyawanya untuk melahirkan ku, mengorbankan seluruh hidupnya untuk mendidik dan membesarkan ku hingga detik ini, menyayangi dan mencintai aku sepenuh hati, menjaga dan bahkan mengorbankan impiannya menjadi seorang wanita karir untuk menemani tumbuh kembangku, ya dia lah yang aku sebut Mama. Beda sama Papa yang nonjolin nilai ketegasan dan kewibawaan, Mama ngasi warna kepemimpinan yang beda, yaitu dengan cinta dan kasihnya. Dia yang ngajarin aku, gimana caranya kita bisa mimpin suatu kelompok dengan cinta kasih. Ketika kita memimpin suatu kelompok, kita harus bisa ikhlas dan tulus, masuk jadi bagian dari hidup kelompok, dan nimbulin rasa kasih di dalamnya. Hal itu yang bikin nggak ada pembatas diantara seorang ibu dan anak – anaknya. Nggak gampang, tapi mama uda bisa ngebuktiin ke anak – anaknya. Dari situ aku belajar satu hal baru lagi, kepemimpinan itu nggak cuma perlu tegas dan wibawa, tapi juga perlu adanya rasa cinta dan kasih yang bakal ngiket kelompok yang dipimpin dari hati, bukan sekedar dari tugas dan tanggungjawab.
  3. Kakak. Aku bersyukur punya kakak yang baik, sayang, pinter, dan bisa jadi panutan yang pantas buat adik – adiknya. Dia yang ngajarin aku arti kemandirian. Pentingnya kemandirian seorang pemimpin salah satunya adalah dengan berusaha ngelepasin rasa “manja” sama semua fasilitas yang Papa Mama kasih. Dia juga yang ngajarin aku, selagi kita belum mandiri, maka semua mimpi dan cita – cita nggak bakal bisa kita dapetin. Ketika kita masih terikat dalam fasilitas kedua orang tua, maka bukan hal yang mudah bagi kita untuk mengembangkan kemauan dan keinginan kita. Bukan hal yang mudah bagi kita untuk menggapai mimpi yang mungkin bertentangan dengan apa yang orang tua kita inginkan. Dengan “mandiri” maka kita dapat membuktikan kepada kedua orang tua kita bahwa kita mampu berdiri tanpa bantuan tangan mereka lagi. Percuma jika kita sudah tegas dalam memimpin, wibawa, penuh cinta kasih, namun hidup kita masih bergantung kepada orang lain.
  4. Adik. Bukan hal yang mudah nemu hal positif dari seorang anak labil yang punya selisih umur jauh sama kita. Tapi ternyata, banyak hal positif yang bisa aku dapet dari seorang anak perempuan labil yang emosian itu. Ya, dia adikku. Mau setua apapun umurnya, dia tetaplah “bayi” di keluarga kami. Terlepas dari sikap manja dan labilnya dia dalam keluargaku, dia adalah seorang lembut yang sensitif dan peka, juga peduli lingkungan. Pernah suatu kali dia nangis tanpa sebab, dan ketika aku tanya kenapa, dia jawab dengan muka polosnya “Kak, kasian pengemisnya itu, nggak ada yang ngasih uang”. Belum lagi caranya yang menganggap binatang peliharaannya sebagai anaknya sendiri. Mungkin setiap orang yang memiliki peliharaan akan menjadikan peliharaannya itu sebagai anak kandungnya sendiri, namun hal itu terlihat berbeda jika terjadi kepada anak manja seperti adikku. Hal yang mengagumkan adalah ketika ia menunjukkan sikap kedewasaannya dalam menjadi majikan dalam mengendalikan hewan peliharaannya, dibalik sifat manja dan egoisnya sebagai anak bungsu. Atau mungkin ketika dia nangis tersedu – sedu setelah nonton film hachiko, tentang perjuangan seekor anjing yang selalu menanti kedatangan majikannya yang telah meninggal, dan masih banyak lainnya. Peka, sensitif, dan peduli lingkungan. Ya, tiga hal positif itu yang perlu kita tanam lebih dalam jiwa kepemimpinan kita. Bayangkan jika seorang pemimpin tidak memiliki rasa kepekaan, sensitifitas, dan peduli lingkungan yang tinggi terhadap sesuatu yang dipimpinnya, maka kita tidak akan tahu, masalah – masalah apa saja yang harus diselesaikan jika terjadi konflik dalam kelompok yang kita pimpin.
  5. Sahabat. Hidup dalam lingkungan yang berbeda – beda sejak lahir merupakan suatu anugerah tersendiri bagiku. Ketika asal keluargaku, tempat aku lahir, tempat aku dibesarkan, dan tempat aku tinggal sekarang berbeda, menjadikanku memiliki banyak sahabat dari berbagai suku bangsa yang berbeda. Ya, aku seorang Hindu yang memiliki darah masyarakat Bali, namun belum pernah sekalipun tinggal menetap di wilayah yang memiliki masyarakat mayoritas beragama Hindu itu. Ya, awalnya terlihat sulit menjadi minoritas, entah dalam hal agama, maupun adat istiadat. Ya, awalnya terlihat sulit bertahan sendiri, namun, ternyata menjadi minoritas bukanlah hal sesulit itu. Aku bertahan, bukan dengan melawan arus yang besar itu, namun dengan mengendalikan arus untuk dapat bertahan dalam perbedaan yang ada. Salah satu penyemangat hidupku adalah sahabat. Sahabat – sahabatku lah yang mengajarkanku untuk setia, menjaga solidaritas, toleransi, dan kebersamaan di tengah perbedaan yang ada. Mereka yang akhirnya menyadarkanku, seorang pemimpin yang baik harus setia, tidak mudah pergi begitu saja ketika terdapat masalah dalam kelompok yang dipimpinnya. Tidak hanya setia, namun harus menjunjung tinggi toleransi dan kebersamaan yang ada di tengah perbedaan yang ada. Ketika seorang pemimpin tidak mampu bertoleransi terhadap perbedaan yang ada, maka ia bukanlah pemimpin yang baik, sikap yang bersifat “mengkotak-kotakkan” manusia akan menghancurkan kelompok yang dipimpin, bahkan dirinya sendiri.
  6. Pacar. Mungkin banyak yang beranggapan miring mengenai pacar, ya tidak banyak yang beranggapan bahwa “udahlah, daripada pacaran mending langsung nikah” atau mungkin ada juga yang beranggapan “jangan terlalu sayang sama pacar, apa – apa sama pacar, pacar itu belum jadi suami/istri kita”. Buat aku, pacaran adalah kondisi pengenalan lebih dekat dengan sosok lawan jenis yang dapat membuat kita lebih nyaman dan aman, selain bersama keluarga dan sahabat, karena suatu hari nanti sosok pacar itu akan menjadi salah satu bagian dari hidup kita, yaitu sebagai suami / istri. Ya, pacaran merupakan salah satu tahap pendewasaan diri dalam hidup aku. Bukan hal yang mudah memiliki pacar, mempunyai partner yang mampu menjadikan perbedaan warna menjadi pelangi yang indah. Kebo, itu panggilan aku buat sosok lawan jenis yang mampu menjadi partner hidup aku sementara ini. Kebo juga yang ngajarin aku banyak hal dalam masalah kepemimpinan. Dia yang ngajarin aku gimana kita harus bertahan sendiri tanpa keluarga. Dia juga yang ngajarin aku buat lebih tegar dan bersahabat dengan masalah. Dan dia yang ngajarin aku bahwa kedewasaan dalam memimpin diri sendiri jauh lebih sulit dibandingkan memimpin ribuan bahkan jutaan umat manusia.
  7. Seorang lain yang bernama Aldias Akmal Dita. Aldias Akmal Dita, atau yang biasa aku panggil Mas Dias, adalah sosok pemimpin umum Badan Pers Mahasiswa FE UNS Periode 2013 – 2014, sekaligus kakak tingkat aku di jurusan yang sama yaitu Ekonomi Pembangunan. Dia adalah pemimpin umum Badan Pers Mahasiswa FE UNS yang pertama yang pernah mengundurkan diri di tengah – tengah kepemimpinannya secara sepihak. Hingga detik ini, kami sebagai mantan pengurus organisasi itu masih belum mengerti secara pasti alasan ia mengundurkan diri. Pernah ia mengajukan surat pengunduran diri dengan alasan sakit “saraf otak”, namun hingga detik ini, belum pernah ia lampirkan surat keterangan mengidap penyakit berat tersebut. Pernah ia melampirkan surat keterangan sakit, namun hanya surat keterangan dokter yang menjelaskan bahwa ia sedang butuh istirahat tidak mengikuti kegiatan selama 2 hingga 3 hari, seperti surat keterangan sakit tidak mengikuti perkuliahan pada umumnya. Ya, mungkin banyak orang yang menganggap dia adalah seorang pengecut, tidak bertanggungjawab, dan bermental “kerupuk” mudah hancur begitu saja, dan bukanlah sosok pemimpin yang pantas bagi suatu kelompok. Namun, dibalik semua hal buruk dalam kepemimpinannya, aku mendapat suatu pelajaran besar tentang arti kepemimpinan. Seorang pemimpin adalah seorang yang kuat, bukan secara fisik, namun secara mental. Tidak ada gunanya seorang pemimpin dengan otak yang pintar, fisik sempurna, namun tidak memililki mental yang kuat. Ya, banyak di luar sana, manusia dengan fisik tidak sempurna saja masih mampu bertahan hidup, bahkan menorehkan prestasi yang luar biasa dengan keterbatasan fisik, mereka mampu melakukan itu semua karena mereka memiliki mental yang luar biasa kuat

Well, sebaik apapun pelajaran yang kita dapet dalam hidup kita, nggak akan ada gunanya jika kita nggak ngelakuin hal tersebut. Just do our part and do the best!

Jumat, 22 Agustus 2014

Superkids Tlogo Dringo

Akhirnya aku kembali ke peradaban, setelah selama 41 hari tinggal dan beradaptasi dalam suatu lingkungan baru. Namanya Dukuh Tlogo Dringo, salah satu dukuh dalam kawasan Desa Gondosuli, suatu desa di daerah pegunungan Lawu, masih dalam lingkup Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur.Suasana hijau, sejuk, dan menenangkan hati tidak membuat udara dingin dan suhu 10 derajat bukanlah hal yang menyebalkan bagiku. Keramahan dan ketulusan hati masyarakat, membuatku sedikit melupakan suasana egois dan angkuh warga kota sejenak. Keceriaan anak-anak nya membuatku sadar, hidup ini terlalu singkat untuk dijalani. Semangat warga yang bahkan sudah cukup tua dalam menjalankan pekerjaannya sebagai petani, membuatku sadar betapa hidup itu adalah anugerah terbesar. Aku bahagia, Tuhan. Mungkin seribu kata syukur belum bisa mewakili bagaimana bahagianya aku diberikan mengenal indahnya ciptaanMu, Gondosuli, ya Tlogo Dringo ini.
Pemandangan indah pegunungan Lawu dari depan kamar

Aku berada di depan Kantor Kelurahan Gondosuli

Ridho, Dimas, Thoriq, Marwanto, Lucky, Hengki, Risqy, Restu, Aji, ya mereka 42 hari yang lalu bukan siapa – siapa di hidupku. Mereka hanya anak laki – laki yang merupakan bagian dari SDN 03 Gondosuli, sekolah dasar yang terletak paling ujung perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur di lereng Gunung Lawu, sekolah kecil yang kondisinya cukup memprihatinkan, dengan hanya mempunyai murid sejumlah 41 orang untuk keseluruhan kelas dari kelas satu hingga kelas enam. Bukan hanya itu, tidak adanya Pendidikan Anak Usia Dasar (PAUD) di lingkungan Tlogo Dringo pun menyebabkan banyak anak SDN 03 Gondosuli tidak memiliki kapasitas yang sebanding dengan anak – anak yang menempuh sekolah dasar lainnya. Hal tersebut diperburuk dengan minimnya tenaga pengajar. Tentu sangatlah berbeda dengan kondisi yang ada di kota – kota besar. Sedikit meruntuhkan kepercayaanku kepada pemerintah tentang banyaknya program pendidikan yang seolah sudah meningkatkan pendidikan Indonesia. Ya, mungkin tingkat pendidikan di Indonesia sudah cukup maju, seiring dengan semakin tingginya tingkat kesenjangannya. Miris, kawan.




Foto superkids yang lagi nyiapin diri buat jambore ranting


Kembali kepada kesembilan superkids, ya aku panggil mereka superkids. Di tengah sulitnya persaingan tingkat pendidikan Indonesia, mereka bertahan, masih bertahan dengan kesederhanaan dan semangat belajar mereka. Aku salut, bangga, terharu, bahagia, dan mungkin masih banyak perasaanku yang tak bisa aku ungkapkan hanya dengan satu atau dua kata. Mereka, ya, mereka yang menjadi salah satu dari sekian banyak guru yang telah masuk dalam kehidupanku.

Mereka yang membukakan mataku, “Kak, liat kesini, jangan cuma liat kondisi sekolah yang ada di kota. Kami nyata kak, kami bukan masa lalu. Kami ada di jaman ini kak, di jaman demokrasi, di jaman kebebasan pers. Kami ada kak, kami bukan halusinasi. Mungkin banyak teman kami yang mengharumkan nama Indonesia di Internasional, tapi jangan lupakan kami kak, kami ada di sini, kami juga mampu seperti mereka jika kami diberikan kesempatan dan fasilitas yang sama kak. Kami tidak bodoh kak, kami mau belajar kak untuk menjadi pintar seperti kakak. Kami hanya kurang beruntung karena lahir dan besar di lingkungan yang jauh dari kota dan pusat pemerintah kak, jadi kami tidak mendapat kesempatan dan fasilitas yang sama untuk mengembangkan bakat dan minat kami, untuk membantu mengharumkan nama Indonesia di dunia Internasional”. 

Ya, mungkin kalimat – kalimat itu yang bakal keluar dari mulut kecil mereka. Mungkin kalimat – kalimat itu yang bakal keluar, ketika mereka melihat dunia luar secara langsung. Mungkin......

Jumat, 27 Juni 2014

Ketika hidup itu...

Hidup itu indah ketika kamu membuatnya menjadi indah. Bukan karena kamu mengejar sesuatu yang indah kemudian kamu memasang target tinggi untuk mencapainya, namun ketika kamu mensyukuri sesuatu yang ada di depan matamu sebagai pemberian terindah dari Nya. Bukan juga ketika kamu berusaha menjadi yang terbaik untuk orang lain kemudian hidup mu menjadi indah, namun ketika kamu mampu menghargai hidupmu sendiri maka hidupmu menjadi indah.

Simpel.
Sederhana.
Tapi bukan hal yang mudah buat dilakuin.

Mungkin seperti mengendarai sebuah mobil, cukup besar, bahkan lebih besar dari kamu (sang pengemudi mobil), namun kamu harus mampu mengendalikannya agar mampu berjalan, berhenti, dan menempatkan diri sesuai tempatnya.

Ya, sama seperti mobil, disaat harus selalu mengalah dengan kendaraan yang lebih kecil (misalnya sepeda, motor, becak, bajaj) atau mungkin pejalan kaki yang terkadang menggunakan jalan seenaknya. Pengendara mobil yang harus selalu bersabar menghadapi mereka yang mungkin tidak mengerti susahnya mengendarai mobil. Atau menjadi pengendara mobil yang harus bersabar mengalah demi mobil dan sesama pengguna jalan agar tidak terjadi kecelakaan, karna bagaimanapun, yang dirugikan adalah pengendara mobil itu sendiri. Mungkin, secara hukum ada aturan yang mempermasalahkan si pengendara yang bersalah, baik itu pengendara motor, sepeda, atau bajaj, bukan selalu menjadikan si pengendara mobil sebagai kambing hitam. Namun secara materi? Tidak semua pejalan kaki, pengendara sepeda, pengendara motor, bajaj, atau becak mampu menggantinya, sekalipun bukan si pengendara mobil yang menggunakan jalan secara ugal - ugal an.

Ya, sama seperti mobil, mempunyai dua spion kecil untuk melihat ke belakang dan satu spion ke depan untuk melihat lebih luas. Ketika kita terlalu sibuk melihat spion, maka bukan hal yang tidak mungkin jika terjadi kecelakaan. Hal itu yang kemudian mengajarkan kita untuk lebih fokus kepada apa yang ada di depan mata, kehidupan yang akan datang, bukan selalu melihat apa yang ada di belakang kita. Hal itu jugalah yang kemudian akan membuat kita perlahan bangkit dari masa lalu, maju ke depan, menatap masa depan yang lebih cerah.

Ya, sama seperti mobil, disaat kita harus mampu menyeimbangkan kaki dalam menginjak kopling - rem - gas agar membuat kondisi mobil menjadi stabil. Sama seperti bagaimana kita harus mampu mengendalikan sifat sabar diantara malas dan emosi itu menghantui.

Ya, sama seperti mobil, ketika kamu harus mampu mengendalikan sekelompok besi yang ukurannya jauh lebih besar dari badanmu agar tetap mampu berjalan pada jalur yang sesuai. Sama seperti bagaimana kamu menuntun hidup kamu agar tetap pada jalanNya.

Ya, sama seperti mobil, disaat memarkirkan mobil lebih sulit dibandingkan menjalankan mobil di jalanan umum, bahkan di keramaian sekalipun. Sama seperti bagaimana sulitnya menempatkan diri kita, menempatkan emosi kita di tempat semestinya, dibandingkan menjalankan diri kita dari satu tempat ke tempat lainnya.


Dan ketika kamu berhasil merintangi rintangan tersebut, akan ada ujian - ujian yang jauh lebih besar, yang menguji kesabaran, keseimbangan, dan kekuatanmu agar tetap berada di jalur yang semestinya.
Bukan, bukan aku, bukan kamu, bukan mereka juga yang bakal tau seberapa hebatnya kamu, tapi cuma Dia, ya Dia yang kamu sebut penciptamu, Dia yang Maha Segalanya yang tau baik buruknya kamu.

Dan ketika kamu, semakin melakukan hal terbaik agar mendapat "pujianNya", maka kamu akan semakin digoda dengan ujian dan rintangan yang jauh lebih berat. Sehingga hanya ada satu jalan yang semestinya dilakukan untuk lulus dari semua itu....

IKHLAS !

Rabu, 25 Juni 2014

Kedewasaan dalam Kepemimpinan

Menjadi seorang pemimpin adalah mimpiku sejak kecil. Suatu kebanggaan aja sih menurutku ketika banyak orang dalam suatu kelompok percaya sama seseorang dalam kelompok itu untuk memimpin mereka. Atau mungkin juga karena aku si "minoritas" ini berada di tengah arus "mayoritas" yang akhirnya bermimpi untuk dapat menjadi pemimpin bagi kaum itu agar tidak ada lagi penindasan bagi kami, minoritas.

Well, terlepas dari kasus di atas, aku punya sedikit cerita menarik tentang kepemimpinan dalam salah satu organisasi yang sempat aku masukin, namanya "Bapema" singkatan dari Badan Pers Mahasiswa.
Aku bangga sempat masuk dan belajar banyak hal di dalamnya. Tidak hanya kemampuan dalam bidang jurnalistik, namun juga kemampuan dalam berorganisasi, manajemen kepribadian, bersosialisasi, bertanggungjawab, komitmen, dan arti sebuah kepemimpinan.



Kasus terbesar dalam hidupku selama aku bergabung dalam organisasi itu adalah ketika pemimpin kami (Aldias Akmal Dita - biasa dipanggil Dias) pergi begitu saja meninggalkan kami, tanpa alasan yang jelas. Well, dia memang sempat beralasan bahwa dirinya mempunyai penyakit syaraf yang luar biasa hebat, mematikan, dan membuatnya harus mengundurkan diri (secara sepihak) untuk fokus menghadapi penyakitnya. Namun, dia tidak pernah mau diminta pertanggungjawaban atas keputusannya tersebut. Dia tidak mampu menunjukkan surat keterangan bahwa ia benar menderita penyakit syaraf mematikan. Dia juga memutarbalikkan fakta ketika mediator kami ingin membantu kami menyelesaikan masalah "hilangnya figur kepemimpinan". Tidak cukup disitu, salah satu hal yang cukup membuat kami geram adalah ditengah kondisi (yang katanya) sakit berat itu, dia masi mampu menyelesaikan skripsi (yang katanya menjadi momok bagi mahasiswa angkatan akhir).

Mungkin jika kita lihat dari sudut pandang yang positif, kondisi penyakit nya masih lebih dapat mentolerir sulitnya menghadapi skripsi dibandingkan sulitnya menjadi pemimpin dalam suatu organisasi.

Namun, jika dilihat lebih lanjut, jika memang ia mempunyai penyakit syaraf yang begitu parahnya, mematikan jika ia terus melanjutkan menjadi seorang pemimpin dalam organisasi kami, mengapa harus mengundurkan diri secara sepihak?
Mengapa tidak melakukan pengunduran diri secara terbuka dalam suatu forum?

Entahlah.
Hanya dia dan Tuhan yang tau jawabannya




So, what's next?

Traumakah aku?
Atau menjadi ikut dalam drama penyakit seorang Aldias Akmal Dita?

Tidak.
Aku tidak se"anak kecil" itu.

Aku bersyukur pernah mengalami hal busuk seperti itu.
Mungkin, jika bukan karena hal busuk itu, aku tidak tau arti kepemimpinan di dunia ini lebih dalam.
Mungkin, jika tanpa dia, yang pengecut (menurutku), aku tidak pernah merasakan sakitnya dikhianati oleh orang yang kita percaya memimpin kelompok kita.
Mungkin, jika tanpa dia, yang pergi begitu saja meninggalkan kami (BAPEMA Periode 2013) aku tidak dapat belajar arti kedewasaan.

Ya, kedewasaan.
Pembelajaran hidup yang aku dapat di luar kampus, bahkan di luar keluargaku, pelajaran yang aku dapat di situ, BAPEMA.

Dewasa bukan semudah kata - katanya.
Dewasa adalah kondisi ketika kamu masih bisa tersenyum bahagia melihat situasi terburuk dalam hidupmu.
Dewasa adalah kondisi dimana kita harus menjadi "orang tua" bagi mereka yang mungkin seharusnya menjadi sosok yang harus dituakan.
Dewasa adalah kondisi dimana kita harus bisa merasakan nikmatnya kopi yang pahit itu.
Ya, dewasa .....

Kesederhanaan

Sederhana itu luas.

Dalam masalah kepribadian, seseorang bisa dikatakan sederhana ketika ia mempunyai kepribadian yang sederhana, seperti misalnya:

  • Kamu ke kampus cuma pake baju casual aja bisa digolongin sebagai "sederhana".
  • Kamu ke suatu party mewah tanpa make up juga bisa masuk kategori "sederhana".
  • Kamu nggak pernah mamerin sesuatu yang kamu punya juga bisa masuk dalam kelompok "sederhana" itu sendiri.


Sederhana, untuk kondisi perekonomian atau kehidupan seseorang seringkali dikaitkan dengan kondisi yang (maaf) "miskin" atau kelompok masyarakat tidak mampu.
Sederhana juga bisa dianggap sebagai kondisi yang tidak menonjolkan "apa yang dia mau" namun "apa yang dia butuhkan".

Untuk topik tulisan ini, aku bakal lebih ngebahas tentang kesederhanaan dalam sisi kondisi kehidupan seseorang.

Ada seorang anak manusia yang beruntung dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan, namun karena semua materi yang diperoleh kedua orang tuanya bukanlah dari proses yang instan, maka kedua orang tuanya mengajarkannya untuk hidup sederhana. Sebut saja ia Bunga.

Bunga diajarkan untuk selalu menghargai hal kecil dalam hidupnya. Ia diajarkan untuk menganggap materi bukanlah sesuatu yang akan menempel selamanya dalam hidup, melainkan akhlak dan budi mulia. Karena itu, tak banyak orang yang tau jika Bunga berasal dari keluarga berkecukupan. Kepribadian dan gaya hidupnya yang sederhana mengakibatkan banyak orang terkesan meremehkannya. Namun, Bunga tetap diam, dia tak lantas menyombongkan apa yang dia punya, dia hanya bisa tersenyum disaat orang lain yang hanya memandangnya dari luar sebagai (maaf) "Pengemis" begitu saja.


Kasus itu bikin aku heran. Masih jaman ya nganggep seseorang penting dan gak penting cuma dari penampilan fisik? Masih jaman ya manusia hidup di dunia ini cuma karna materi? Ok, aku juga gak bisa munafik, aku juga masih butuh duit buat bertahan hidup, buat makan, buat main, buat ngebutuhin kebutuhan fisik, tapi bukan berarti aku nyembah duit gitu aja dan ikutan nyembah mereka yang bergelimpangan materi.

Just for your information, aku pernah dalam kondisi punya "materi" tanpa punya temen cerita dan maen di dunia ini tapi gak bahagia. Dan sebaliknya, aku juga pernah dalam kondisi nggak punya "materi" tapi punya banyak temen cerita dan itu jauh lebih bahagia.

Well, napa manusia masih men"dewa"kan uang di dunia ini?
Bukan, bukan cuma uang, tapi manusia juga terkesan masih men"dewa"kan mereka yang berpangkat.

Lalu apa mereka jaminan kebahagiaanmu?
Lalu apa kamu tau bagaimana sulitnya mereka mendapat dan mempertahankan yang mereka punya?
Mereka bukan tukang sihir yang dengan mudahnya mendapatkan pangkat dan segala harta benda itu.

Lalu kamu, ya kamu yang bangga dengan segala materi yang kamu punya.
Untuk kamu yang merasa hebat ketika punya pangkat dan seluruh uang di dunia ini (dunia impiannya sendiri mungkin - red), kamu masih ngerasa hebat waktu bisa "ngebeli" orang?
Kamu nggak takut tu orang bakal pergi gitu aja ketika materi dan seluruh uang yang kamu punya itu ilang?

Dunia nggak sesempit itu men!
Dunia itu luas.



Bahagia itu sederhana.
Bahagia adalah kita bersyukur memiliki apa yang kita miliki.
Dan bahagia itu kita yang buat, bukan karena uang, bukan karena jabatan, juga bukan karena pangkat