Senin, 29 September 2014

Arti Seorang Ibu

21 tahun. Ya, selama itulah aku berdosa. Berdosa yang sangat besar terhadap Ibu, yang biasa aku sebut Mama. Mama adalah wanita paling hebat yang pernah aku kenal di dunia ini. Mama adalah seorang wanita hebat yang telah melahirkanku, mendidikku, dan membesarkanku hingga detik ini. Mama juga yang mengorbankan egonya untuk menjadi seorang wanita karir demi menjaga aku hingga detik ini. Namun aku? Aku terlalu lama untuk menyadari arti penting seorang Ibu. Ya, aku terlalu sering melupakan bahwa Mama adalah seorang Ibu, Ibu yang mempunyai banyak arti, bahkan mungkin tidak terhingga untuk anaknya.

Waktu aku berumur 1 tahun....
Mungkin aku nggak bisa inget kenakalan apa yang udah aku perbuat di tahun pertama aku ada di dunia ini. Yang aku tau, sampe mama hamil aku, mama masih kerja sebagai seorang perawat di salah satu rumah sakit bersalin di Semarang. Ya, mama juga merupakan salah satu pegawai teladan yang jadi kesayangan banyak pasien. Tapi, semenjak aku lahir, mama lebih milih buat resign. Ya, begitu sayangnya mama sama aku, ia ingin meluangkan waktunya, 24 jam hanya demi mengurus aku. Tidak seperti ketika ia harus membagi waktu antara bekerja dan mengurus kakak. Namun aku? Aku masih saja menyakiti mama dengan tangisan ku akibat lemahnya kondisi tubuhku di satu tahun pertamaku di dunia ini. Ya, mama cerita aku sering banget sakit. Bahkan pernah ada dokter yang ngevonis aku bakal jadi anak dengan keterbelakangan mental. Mama cuma bisa nangis, berharap apa yang dokter bilang itu nggak bener. Dan ternyata, Tuhan itu baik, aku bisa ngelewatin masa - masa kritis aku dan hidup normal layaknya anak berumur 1 tahun.

Waktu aku merengek ingin sekolah...
Ya, aku masih inget banget, waktu aku masih berumur kira - kira 3 tahun, aku udah pengen banget bisa sekolah. Dari mulai sok - sok an main guru - guru an sama temen sekompleks, sampe sok jadi model iklan tas ransel. Ya, waktu itu mama sabar banget ngasi aku pengertian kalo aku belum cukup umur buat sekolah, aku masih harus sabar lagi buat bisa masuk sekolah, seenggaknya sampe umur aku 5tahun.

Waktu aku mulai sekolah..
Aku yang lahir sebagai anak bungsu waktu itu bener - bener dimanja, semua yang aku pengen selalu diturutin. Sampe akhirnya mama hamil adikku. Bukan, aku bukannya iri bakal dapet saingan baru. Cuma, karna sifat manja aku yang berlebihan, aku masih terus mau dimanja - manja sama mama yang dalam posisi hamil calon adik, ya kalo nggak minta digendong, ya minta dipangku. Alhasil, mama gagal ngelahirin 2 calon adikku. Tapi, mama nggak pernah marahin aku. Mama dengan sabar ngajarin aku dan ngejelasin, kalo aku udah mau jadi kakak, aku nggak boleh manja - manja lagi. Dan akhirnya setelah 7 tahun jadi anak bungsu, aku akhirnya dapet adik perempuan yang lucu di umurku yang ketujuh.

Waktu aku mulai remaja..
Begitu sabarnya mama ngadepin tiga orang anak perempuannya, terutama aku. Ya, masa puber menjadikan aku sosok yang sangat keras dan penuh emosi. Bahkan pernah juga aku memarahi mama dan membentaknya hanya karna aku nggak boleh maen sama temen - temen. Aku yang masih labil waktu itu merasa jenuh selalu dalam kurungan mama dan predikat "anak rumahan". Sampe akhirnya untuk pertama kalinya aku lihat mama nangis, nggak marah, cuma natap aku tajam dan pergi gitu aja ke kamarnya. Ya, aku berdosa. Dosa besar karna nggak ngebales semua cinta kasihnya dengan hal yang setimpal. Beruntung, aku juga punya seorang Papa yang luar biasa sabarnya. Papa yang ngajarin aku, aku nggak seharusnya bersikap kasar dan galak sama orang yang udah ngelahirin aku bahkan rela ngorbanin nyawaku buat aku. Dan disitu lah titik balik aku sadar, aku berdosa. Dosa besar. Semenjak itu aku berjanji buat lebih merhatiin mama, lebih sayang mama, dan bakal ngorbanin semuanya demi mama, buat nebus dosaku. Ya, aku tau, dosa emang nggak bakal bisa dihilangin, tapi setidaknya aku sudah berusaha buat nutup dosa - dosaku dengan sikap tobatku.

Waktu aku mulai dewasa,,,
Ya, semnjak peristiwa itu, aku udah nggak pernah peduli lagi sama ejekan temen - temen. Bahkan prinsipku adalah lebih baik aku nggak punya temen, daripada harus nggak punya mama. Ya, mama adalah segalanya bagiku di dunia ini. Mama adalah teman, sahabat, dan segalanya. Kalo bukan karna kesabaran dan pengorbanan mama, aku nggak mungkin ada di dunia ini. Tapi sayangnya, aku harus hidup mandiri setelah kuliah. Berat, berat banget. Mungkin karna mama yang sabar ngadepin permintaan aku buat makan ini itu. dan setelah nge kost, aku harus makan makanan yang itu - itu aja, makanan yang nggak dijual di sekitar kampus karna emang cuma mama  yang bisa masakin. Atau mungkin kehilangan temen maen, karna sampe sebelum aku ngekost, yang maen sama aku setiap aku bosen ya cuma mama. Ya, aku adalah anak culun, anak rumahan, dengan orang tua yang ngebesarin anaknya dengan over protective. Sempet sedih, sempet juga nyalahin mama papa dengan anggapan "Ah, kalo aja dulu aku dibebasin bergaul, maen sama mereka, gak cuma maen sama mama papa, pasti aku nggak bakal kesepian kayak gini". Ya, itu dulu, waktu aku pertama kali dilepas ke dunia luar. Berasa jadi anak ayam yang biasanya hidup di kandang ayam tapi tau - tau dikeluarin gitu aja dari kandang. Banyak banget pelajaran yang akhirnya ngedewasain aku secara nggak langsung. Ya, salah satunya adalah ketika aku akhirnya bisa secara mandiri nyelesein masalahku, tanpa harus curhat atau ngebebanin mama dengan hal yang nggak penting.




Ya, mama adalah segalanya dalam hidupku. Bukan hanya aku, aku percaya semua anak di dunia ini pasti bangga dengan wanita cantik yang udah ngorbanin seluruh jiwa raganya hanya untuk melahirkan, mendidik, dan membesarkan anaknya. Dan buat kamu, yang ngebaca tulisan ini tapi masih ngerasa wanita yang udah ngelahirin kamu nggak sehebat yang aku bilang, percayalah, ia adalah yang terbaik yang pernah ada dalam hidupmu. Ya, aku tau, mungkin nggak semua orang beruntung mempunyai ibu yang mampu menunjukkan rasa sayangnya secara langsung kayak mama aku, tapi seburuk apapun cara seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya, yang pasti Ibu melakukannya hanya untuk yang terbaik bagi seorang anaknya....

Sabtu, 27 September 2014

Kepemimpinan

Menjadi seorang pemimpin itu nggak gampang. Bukan hal yang mudah untuk mimpin suatu kelompok, bertanggung jawab dan berkomitmen untuk menjadi “kepala” pada suatu kelompok. Menjaga keutuhan suatu kelompok dengan memimpin dari awal berdiri sampe akhir pun suatu hal yang sangat sulit. Buat aku, bisa dipercaya jadi pemimpin adalah satu kehormatan tersendiri. Makanya, buat ngembangin jiwa kepemimpinan yang baik, aku nggak pernah berhenti belajar dari sekelilingku.



Ada Beberapa sosok di sekelilingku yang mengajariku tentang arti kepemimpinan, yaitu diantaranya :

  1. AyahMungkin bagi sebagian orang, “kekerasan” sangat diperlukan dalam menciptakan wibawa dan ketegasan dalam memimpin. Tapi tidak untuk Papa, sebutan bagi seorang pria yang telah sabar mendidik dan menjaga aku, membimbing aku sejak lahir hingga detik ini. Ya, Papa yang ngajarin aku buat selalu bersikap tegas tapi tidak dengan cara kekerasan. Papa juga yang ngajarin aku, nggak semua cara yang berbau “kekerasan” itu  bakal ngebangun wibawa seorang pemimpin. Dan semua itu ia buktikan dengan ketegasannya menjadi kepala keluarga dengan tidak pernah berperilaku kasar kepada istri dan anak-anaknya. Ya, aku merasa beruntung. Papa belum pernah ngedidik anak – anaknya dengan bahasa kasar, ngebentak, bahkan mukul pun nggak. Namun bukan berarti, kami sebagai anak dan istrinya tidak takut dan segan, bahkan tidak menghormatinya, justru Papa merupakan satu – satunya orang yang berwibawa dan kami segani di keluarga. Dari situlah aku belajar, sikap tegas dan wibawa seorang pemimpin bukan lahir dari “kekerasan”.
  2. Ibu. Seorang wanita yang mau bersusah payah mengandung, mengorbankan nyawanya untuk melahirkan ku, mengorbankan seluruh hidupnya untuk mendidik dan membesarkan ku hingga detik ini, menyayangi dan mencintai aku sepenuh hati, menjaga dan bahkan mengorbankan impiannya menjadi seorang wanita karir untuk menemani tumbuh kembangku, ya dia lah yang aku sebut Mama. Beda sama Papa yang nonjolin nilai ketegasan dan kewibawaan, Mama ngasi warna kepemimpinan yang beda, yaitu dengan cinta dan kasihnya. Dia yang ngajarin aku, gimana caranya kita bisa mimpin suatu kelompok dengan cinta kasih. Ketika kita memimpin suatu kelompok, kita harus bisa ikhlas dan tulus, masuk jadi bagian dari hidup kelompok, dan nimbulin rasa kasih di dalamnya. Hal itu yang bikin nggak ada pembatas diantara seorang ibu dan anak – anaknya. Nggak gampang, tapi mama uda bisa ngebuktiin ke anak – anaknya. Dari situ aku belajar satu hal baru lagi, kepemimpinan itu nggak cuma perlu tegas dan wibawa, tapi juga perlu adanya rasa cinta dan kasih yang bakal ngiket kelompok yang dipimpin dari hati, bukan sekedar dari tugas dan tanggungjawab.
  3. Kakak. Aku bersyukur punya kakak yang baik, sayang, pinter, dan bisa jadi panutan yang pantas buat adik – adiknya. Dia yang ngajarin aku arti kemandirian. Pentingnya kemandirian seorang pemimpin salah satunya adalah dengan berusaha ngelepasin rasa “manja” sama semua fasilitas yang Papa Mama kasih. Dia juga yang ngajarin aku, selagi kita belum mandiri, maka semua mimpi dan cita – cita nggak bakal bisa kita dapetin. Ketika kita masih terikat dalam fasilitas kedua orang tua, maka bukan hal yang mudah bagi kita untuk mengembangkan kemauan dan keinginan kita. Bukan hal yang mudah bagi kita untuk menggapai mimpi yang mungkin bertentangan dengan apa yang orang tua kita inginkan. Dengan “mandiri” maka kita dapat membuktikan kepada kedua orang tua kita bahwa kita mampu berdiri tanpa bantuan tangan mereka lagi. Percuma jika kita sudah tegas dalam memimpin, wibawa, penuh cinta kasih, namun hidup kita masih bergantung kepada orang lain.
  4. Adik. Bukan hal yang mudah nemu hal positif dari seorang anak labil yang punya selisih umur jauh sama kita. Tapi ternyata, banyak hal positif yang bisa aku dapet dari seorang anak perempuan labil yang emosian itu. Ya, dia adikku. Mau setua apapun umurnya, dia tetaplah “bayi” di keluarga kami. Terlepas dari sikap manja dan labilnya dia dalam keluargaku, dia adalah seorang lembut yang sensitif dan peka, juga peduli lingkungan. Pernah suatu kali dia nangis tanpa sebab, dan ketika aku tanya kenapa, dia jawab dengan muka polosnya “Kak, kasian pengemisnya itu, nggak ada yang ngasih uang”. Belum lagi caranya yang menganggap binatang peliharaannya sebagai anaknya sendiri. Mungkin setiap orang yang memiliki peliharaan akan menjadikan peliharaannya itu sebagai anak kandungnya sendiri, namun hal itu terlihat berbeda jika terjadi kepada anak manja seperti adikku. Hal yang mengagumkan adalah ketika ia menunjukkan sikap kedewasaannya dalam menjadi majikan dalam mengendalikan hewan peliharaannya, dibalik sifat manja dan egoisnya sebagai anak bungsu. Atau mungkin ketika dia nangis tersedu – sedu setelah nonton film hachiko, tentang perjuangan seekor anjing yang selalu menanti kedatangan majikannya yang telah meninggal, dan masih banyak lainnya. Peka, sensitif, dan peduli lingkungan. Ya, tiga hal positif itu yang perlu kita tanam lebih dalam jiwa kepemimpinan kita. Bayangkan jika seorang pemimpin tidak memiliki rasa kepekaan, sensitifitas, dan peduli lingkungan yang tinggi terhadap sesuatu yang dipimpinnya, maka kita tidak akan tahu, masalah – masalah apa saja yang harus diselesaikan jika terjadi konflik dalam kelompok yang kita pimpin.
  5. Sahabat. Hidup dalam lingkungan yang berbeda – beda sejak lahir merupakan suatu anugerah tersendiri bagiku. Ketika asal keluargaku, tempat aku lahir, tempat aku dibesarkan, dan tempat aku tinggal sekarang berbeda, menjadikanku memiliki banyak sahabat dari berbagai suku bangsa yang berbeda. Ya, aku seorang Hindu yang memiliki darah masyarakat Bali, namun belum pernah sekalipun tinggal menetap di wilayah yang memiliki masyarakat mayoritas beragama Hindu itu. Ya, awalnya terlihat sulit menjadi minoritas, entah dalam hal agama, maupun adat istiadat. Ya, awalnya terlihat sulit bertahan sendiri, namun, ternyata menjadi minoritas bukanlah hal sesulit itu. Aku bertahan, bukan dengan melawan arus yang besar itu, namun dengan mengendalikan arus untuk dapat bertahan dalam perbedaan yang ada. Salah satu penyemangat hidupku adalah sahabat. Sahabat – sahabatku lah yang mengajarkanku untuk setia, menjaga solidaritas, toleransi, dan kebersamaan di tengah perbedaan yang ada. Mereka yang akhirnya menyadarkanku, seorang pemimpin yang baik harus setia, tidak mudah pergi begitu saja ketika terdapat masalah dalam kelompok yang dipimpinnya. Tidak hanya setia, namun harus menjunjung tinggi toleransi dan kebersamaan yang ada di tengah perbedaan yang ada. Ketika seorang pemimpin tidak mampu bertoleransi terhadap perbedaan yang ada, maka ia bukanlah pemimpin yang baik, sikap yang bersifat “mengkotak-kotakkan” manusia akan menghancurkan kelompok yang dipimpin, bahkan dirinya sendiri.
  6. Pacar. Mungkin banyak yang beranggapan miring mengenai pacar, ya tidak banyak yang beranggapan bahwa “udahlah, daripada pacaran mending langsung nikah” atau mungkin ada juga yang beranggapan “jangan terlalu sayang sama pacar, apa – apa sama pacar, pacar itu belum jadi suami/istri kita”. Buat aku, pacaran adalah kondisi pengenalan lebih dekat dengan sosok lawan jenis yang dapat membuat kita lebih nyaman dan aman, selain bersama keluarga dan sahabat, karena suatu hari nanti sosok pacar itu akan menjadi salah satu bagian dari hidup kita, yaitu sebagai suami / istri. Ya, pacaran merupakan salah satu tahap pendewasaan diri dalam hidup aku. Bukan hal yang mudah memiliki pacar, mempunyai partner yang mampu menjadikan perbedaan warna menjadi pelangi yang indah. Kebo, itu panggilan aku buat sosok lawan jenis yang mampu menjadi partner hidup aku sementara ini. Kebo juga yang ngajarin aku banyak hal dalam masalah kepemimpinan. Dia yang ngajarin aku gimana kita harus bertahan sendiri tanpa keluarga. Dia juga yang ngajarin aku buat lebih tegar dan bersahabat dengan masalah. Dan dia yang ngajarin aku bahwa kedewasaan dalam memimpin diri sendiri jauh lebih sulit dibandingkan memimpin ribuan bahkan jutaan umat manusia.
  7. Seorang lain yang bernama Aldias Akmal Dita. Aldias Akmal Dita, atau yang biasa aku panggil Mas Dias, adalah sosok pemimpin umum Badan Pers Mahasiswa FE UNS Periode 2013 – 2014, sekaligus kakak tingkat aku di jurusan yang sama yaitu Ekonomi Pembangunan. Dia adalah pemimpin umum Badan Pers Mahasiswa FE UNS yang pertama yang pernah mengundurkan diri di tengah – tengah kepemimpinannya secara sepihak. Hingga detik ini, kami sebagai mantan pengurus organisasi itu masih belum mengerti secara pasti alasan ia mengundurkan diri. Pernah ia mengajukan surat pengunduran diri dengan alasan sakit “saraf otak”, namun hingga detik ini, belum pernah ia lampirkan surat keterangan mengidap penyakit berat tersebut. Pernah ia melampirkan surat keterangan sakit, namun hanya surat keterangan dokter yang menjelaskan bahwa ia sedang butuh istirahat tidak mengikuti kegiatan selama 2 hingga 3 hari, seperti surat keterangan sakit tidak mengikuti perkuliahan pada umumnya. Ya, mungkin banyak orang yang menganggap dia adalah seorang pengecut, tidak bertanggungjawab, dan bermental “kerupuk” mudah hancur begitu saja, dan bukanlah sosok pemimpin yang pantas bagi suatu kelompok. Namun, dibalik semua hal buruk dalam kepemimpinannya, aku mendapat suatu pelajaran besar tentang arti kepemimpinan. Seorang pemimpin adalah seorang yang kuat, bukan secara fisik, namun secara mental. Tidak ada gunanya seorang pemimpin dengan otak yang pintar, fisik sempurna, namun tidak memililki mental yang kuat. Ya, banyak di luar sana, manusia dengan fisik tidak sempurna saja masih mampu bertahan hidup, bahkan menorehkan prestasi yang luar biasa dengan keterbatasan fisik, mereka mampu melakukan itu semua karena mereka memiliki mental yang luar biasa kuat

Well, sebaik apapun pelajaran yang kita dapet dalam hidup kita, nggak akan ada gunanya jika kita nggak ngelakuin hal tersebut. Just do our part and do the best!