Jumat, 27 Juni 2014

Ketika hidup itu...

Hidup itu indah ketika kamu membuatnya menjadi indah. Bukan karena kamu mengejar sesuatu yang indah kemudian kamu memasang target tinggi untuk mencapainya, namun ketika kamu mensyukuri sesuatu yang ada di depan matamu sebagai pemberian terindah dari Nya. Bukan juga ketika kamu berusaha menjadi yang terbaik untuk orang lain kemudian hidup mu menjadi indah, namun ketika kamu mampu menghargai hidupmu sendiri maka hidupmu menjadi indah.

Simpel.
Sederhana.
Tapi bukan hal yang mudah buat dilakuin.

Mungkin seperti mengendarai sebuah mobil, cukup besar, bahkan lebih besar dari kamu (sang pengemudi mobil), namun kamu harus mampu mengendalikannya agar mampu berjalan, berhenti, dan menempatkan diri sesuai tempatnya.

Ya, sama seperti mobil, disaat harus selalu mengalah dengan kendaraan yang lebih kecil (misalnya sepeda, motor, becak, bajaj) atau mungkin pejalan kaki yang terkadang menggunakan jalan seenaknya. Pengendara mobil yang harus selalu bersabar menghadapi mereka yang mungkin tidak mengerti susahnya mengendarai mobil. Atau menjadi pengendara mobil yang harus bersabar mengalah demi mobil dan sesama pengguna jalan agar tidak terjadi kecelakaan, karna bagaimanapun, yang dirugikan adalah pengendara mobil itu sendiri. Mungkin, secara hukum ada aturan yang mempermasalahkan si pengendara yang bersalah, baik itu pengendara motor, sepeda, atau bajaj, bukan selalu menjadikan si pengendara mobil sebagai kambing hitam. Namun secara materi? Tidak semua pejalan kaki, pengendara sepeda, pengendara motor, bajaj, atau becak mampu menggantinya, sekalipun bukan si pengendara mobil yang menggunakan jalan secara ugal - ugal an.

Ya, sama seperti mobil, mempunyai dua spion kecil untuk melihat ke belakang dan satu spion ke depan untuk melihat lebih luas. Ketika kita terlalu sibuk melihat spion, maka bukan hal yang tidak mungkin jika terjadi kecelakaan. Hal itu yang kemudian mengajarkan kita untuk lebih fokus kepada apa yang ada di depan mata, kehidupan yang akan datang, bukan selalu melihat apa yang ada di belakang kita. Hal itu jugalah yang kemudian akan membuat kita perlahan bangkit dari masa lalu, maju ke depan, menatap masa depan yang lebih cerah.

Ya, sama seperti mobil, disaat kita harus mampu menyeimbangkan kaki dalam menginjak kopling - rem - gas agar membuat kondisi mobil menjadi stabil. Sama seperti bagaimana kita harus mampu mengendalikan sifat sabar diantara malas dan emosi itu menghantui.

Ya, sama seperti mobil, ketika kamu harus mampu mengendalikan sekelompok besi yang ukurannya jauh lebih besar dari badanmu agar tetap mampu berjalan pada jalur yang sesuai. Sama seperti bagaimana kamu menuntun hidup kamu agar tetap pada jalanNya.

Ya, sama seperti mobil, disaat memarkirkan mobil lebih sulit dibandingkan menjalankan mobil di jalanan umum, bahkan di keramaian sekalipun. Sama seperti bagaimana sulitnya menempatkan diri kita, menempatkan emosi kita di tempat semestinya, dibandingkan menjalankan diri kita dari satu tempat ke tempat lainnya.


Dan ketika kamu berhasil merintangi rintangan tersebut, akan ada ujian - ujian yang jauh lebih besar, yang menguji kesabaran, keseimbangan, dan kekuatanmu agar tetap berada di jalur yang semestinya.
Bukan, bukan aku, bukan kamu, bukan mereka juga yang bakal tau seberapa hebatnya kamu, tapi cuma Dia, ya Dia yang kamu sebut penciptamu, Dia yang Maha Segalanya yang tau baik buruknya kamu.

Dan ketika kamu, semakin melakukan hal terbaik agar mendapat "pujianNya", maka kamu akan semakin digoda dengan ujian dan rintangan yang jauh lebih berat. Sehingga hanya ada satu jalan yang semestinya dilakukan untuk lulus dari semua itu....

IKHLAS !

Rabu, 25 Juni 2014

Kedewasaan dalam Kepemimpinan

Menjadi seorang pemimpin adalah mimpiku sejak kecil. Suatu kebanggaan aja sih menurutku ketika banyak orang dalam suatu kelompok percaya sama seseorang dalam kelompok itu untuk memimpin mereka. Atau mungkin juga karena aku si "minoritas" ini berada di tengah arus "mayoritas" yang akhirnya bermimpi untuk dapat menjadi pemimpin bagi kaum itu agar tidak ada lagi penindasan bagi kami, minoritas.

Well, terlepas dari kasus di atas, aku punya sedikit cerita menarik tentang kepemimpinan dalam salah satu organisasi yang sempat aku masukin, namanya "Bapema" singkatan dari Badan Pers Mahasiswa.
Aku bangga sempat masuk dan belajar banyak hal di dalamnya. Tidak hanya kemampuan dalam bidang jurnalistik, namun juga kemampuan dalam berorganisasi, manajemen kepribadian, bersosialisasi, bertanggungjawab, komitmen, dan arti sebuah kepemimpinan.



Kasus terbesar dalam hidupku selama aku bergabung dalam organisasi itu adalah ketika pemimpin kami (Aldias Akmal Dita - biasa dipanggil Dias) pergi begitu saja meninggalkan kami, tanpa alasan yang jelas. Well, dia memang sempat beralasan bahwa dirinya mempunyai penyakit syaraf yang luar biasa hebat, mematikan, dan membuatnya harus mengundurkan diri (secara sepihak) untuk fokus menghadapi penyakitnya. Namun, dia tidak pernah mau diminta pertanggungjawaban atas keputusannya tersebut. Dia tidak mampu menunjukkan surat keterangan bahwa ia benar menderita penyakit syaraf mematikan. Dia juga memutarbalikkan fakta ketika mediator kami ingin membantu kami menyelesaikan masalah "hilangnya figur kepemimpinan". Tidak cukup disitu, salah satu hal yang cukup membuat kami geram adalah ditengah kondisi (yang katanya) sakit berat itu, dia masi mampu menyelesaikan skripsi (yang katanya menjadi momok bagi mahasiswa angkatan akhir).

Mungkin jika kita lihat dari sudut pandang yang positif, kondisi penyakit nya masih lebih dapat mentolerir sulitnya menghadapi skripsi dibandingkan sulitnya menjadi pemimpin dalam suatu organisasi.

Namun, jika dilihat lebih lanjut, jika memang ia mempunyai penyakit syaraf yang begitu parahnya, mematikan jika ia terus melanjutkan menjadi seorang pemimpin dalam organisasi kami, mengapa harus mengundurkan diri secara sepihak?
Mengapa tidak melakukan pengunduran diri secara terbuka dalam suatu forum?

Entahlah.
Hanya dia dan Tuhan yang tau jawabannya




So, what's next?

Traumakah aku?
Atau menjadi ikut dalam drama penyakit seorang Aldias Akmal Dita?

Tidak.
Aku tidak se"anak kecil" itu.

Aku bersyukur pernah mengalami hal busuk seperti itu.
Mungkin, jika bukan karena hal busuk itu, aku tidak tau arti kepemimpinan di dunia ini lebih dalam.
Mungkin, jika tanpa dia, yang pengecut (menurutku), aku tidak pernah merasakan sakitnya dikhianati oleh orang yang kita percaya memimpin kelompok kita.
Mungkin, jika tanpa dia, yang pergi begitu saja meninggalkan kami (BAPEMA Periode 2013) aku tidak dapat belajar arti kedewasaan.

Ya, kedewasaan.
Pembelajaran hidup yang aku dapat di luar kampus, bahkan di luar keluargaku, pelajaran yang aku dapat di situ, BAPEMA.

Dewasa bukan semudah kata - katanya.
Dewasa adalah kondisi ketika kamu masih bisa tersenyum bahagia melihat situasi terburuk dalam hidupmu.
Dewasa adalah kondisi dimana kita harus menjadi "orang tua" bagi mereka yang mungkin seharusnya menjadi sosok yang harus dituakan.
Dewasa adalah kondisi dimana kita harus bisa merasakan nikmatnya kopi yang pahit itu.
Ya, dewasa .....

Kesederhanaan

Sederhana itu luas.

Dalam masalah kepribadian, seseorang bisa dikatakan sederhana ketika ia mempunyai kepribadian yang sederhana, seperti misalnya:

  • Kamu ke kampus cuma pake baju casual aja bisa digolongin sebagai "sederhana".
  • Kamu ke suatu party mewah tanpa make up juga bisa masuk kategori "sederhana".
  • Kamu nggak pernah mamerin sesuatu yang kamu punya juga bisa masuk dalam kelompok "sederhana" itu sendiri.


Sederhana, untuk kondisi perekonomian atau kehidupan seseorang seringkali dikaitkan dengan kondisi yang (maaf) "miskin" atau kelompok masyarakat tidak mampu.
Sederhana juga bisa dianggap sebagai kondisi yang tidak menonjolkan "apa yang dia mau" namun "apa yang dia butuhkan".

Untuk topik tulisan ini, aku bakal lebih ngebahas tentang kesederhanaan dalam sisi kondisi kehidupan seseorang.

Ada seorang anak manusia yang beruntung dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan, namun karena semua materi yang diperoleh kedua orang tuanya bukanlah dari proses yang instan, maka kedua orang tuanya mengajarkannya untuk hidup sederhana. Sebut saja ia Bunga.

Bunga diajarkan untuk selalu menghargai hal kecil dalam hidupnya. Ia diajarkan untuk menganggap materi bukanlah sesuatu yang akan menempel selamanya dalam hidup, melainkan akhlak dan budi mulia. Karena itu, tak banyak orang yang tau jika Bunga berasal dari keluarga berkecukupan. Kepribadian dan gaya hidupnya yang sederhana mengakibatkan banyak orang terkesan meremehkannya. Namun, Bunga tetap diam, dia tak lantas menyombongkan apa yang dia punya, dia hanya bisa tersenyum disaat orang lain yang hanya memandangnya dari luar sebagai (maaf) "Pengemis" begitu saja.


Kasus itu bikin aku heran. Masih jaman ya nganggep seseorang penting dan gak penting cuma dari penampilan fisik? Masih jaman ya manusia hidup di dunia ini cuma karna materi? Ok, aku juga gak bisa munafik, aku juga masih butuh duit buat bertahan hidup, buat makan, buat main, buat ngebutuhin kebutuhan fisik, tapi bukan berarti aku nyembah duit gitu aja dan ikutan nyembah mereka yang bergelimpangan materi.

Just for your information, aku pernah dalam kondisi punya "materi" tanpa punya temen cerita dan maen di dunia ini tapi gak bahagia. Dan sebaliknya, aku juga pernah dalam kondisi nggak punya "materi" tapi punya banyak temen cerita dan itu jauh lebih bahagia.

Well, napa manusia masih men"dewa"kan uang di dunia ini?
Bukan, bukan cuma uang, tapi manusia juga terkesan masih men"dewa"kan mereka yang berpangkat.

Lalu apa mereka jaminan kebahagiaanmu?
Lalu apa kamu tau bagaimana sulitnya mereka mendapat dan mempertahankan yang mereka punya?
Mereka bukan tukang sihir yang dengan mudahnya mendapatkan pangkat dan segala harta benda itu.

Lalu kamu, ya kamu yang bangga dengan segala materi yang kamu punya.
Untuk kamu yang merasa hebat ketika punya pangkat dan seluruh uang di dunia ini (dunia impiannya sendiri mungkin - red), kamu masih ngerasa hebat waktu bisa "ngebeli" orang?
Kamu nggak takut tu orang bakal pergi gitu aja ketika materi dan seluruh uang yang kamu punya itu ilang?

Dunia nggak sesempit itu men!
Dunia itu luas.



Bahagia itu sederhana.
Bahagia adalah kita bersyukur memiliki apa yang kita miliki.
Dan bahagia itu kita yang buat, bukan karena uang, bukan karena jabatan, juga bukan karena pangkat

Kesombongan

pernah nggak kalian ngerasa jadi korban akan kesombongan seseorang?
well, korban?
ok, let me explain it.



Korban kesombongan seseorang adalah ketika kalian punya satu atau lebih teman yang dengan pedenya menganggap apa yang kalian punya adalah miliknya.
For example, kamu punya kendaraan bermotor dan dia punya sepeda doang.
Suatu hari, kamu dan dia harus ke suatu acara barengan dan untuk efisien waktu, dia minta buat berangkat bareng sama kamu. Sebagai sahabat yang baik, maka kamu dengan senang hati menerima permintaannya.
Well, ini sedikit percakapan dalam kasus ini untuk memperjelas situasi dan kondisi dari apa itu "korban kesombongan".


(Si empunya sepeda) : "Hei, aku boleh kan nebeng sama kamu, biar cepet gitu nyampenya, nggak mungkin kan sepedaan kesana" *rada meringis dengan tampang sedikit memelas*

(Si empunya motor) : "Iya, gapapa, santai aja sama aku"

*sampai di tempat tujuan*

(Si empunya sepeda) : *heran ngeliat di tempat tujuan nggak ada sepeda* "Wah untung ya bawa motor, seenggaknya kita gak malu lah ya, coba kalo bawa sepeda"

***THE END***


Kalimat terakhir dalam dialog itu nunjukkin gimana si empunya sepeda dengan pedenya sombong dalam kondisi nyombongin barang yang bukan punya dia. Dalam hal ini, si empunya sepeda memang belum punya kemampuan untuk beli kendaraan bermotor jadi dia harus minta tolong temannya yang mempunyai kendaraan bermotor agar membantunya. Lalu mengapa dia menyalahartikan kebaikan si empunya kendaraan bermotor dengan ikut mengakui kendaraan bermotor milik temannya itu?

That's so annoying!


Aku pikir dulu yang namanya orang sombong cuma mereka yang tersokong oleh gemerlapnya dunia dan gaya hidup glamor yang memang memantaskan diri mereka sebagai orang sombong. Atau dulu aku pikir mereka yang sombong adalah mereka yang mempunyai standar hidup tinggi dengan kapasitas yang mereka punya, sehingga apa yang mereka sombongkan adalah memang benar yang mereka miliki.

Tapi untuk kasus di atas, aku prihatin. Cukup sangat teramat prihatin. Dan aku disini, cuma bisa berharap, siapapun yang ngebaca blog ini sadar, bukan jamannya lagi kalian jadi anak PLAYGROUP yang bisa nyombongin tempat minum sambil pamer ke temen sekelas "Eh kamu tau gak, tempat minum ini harganya seratus ribu lhoooo, lebih mahal dari uang sangu kalian"
#asumsikan setiap pembaca blog ini minimal sedang menempuh sekolah dasar


Mungkin bagi sebagian orang, sombong itu perlu untuk menjaga eksistensi diri di dunia ini, tapi sesuatu yang berlebihan akan berdampak negatif, termasuk juga kesombongan itu sendiri.
So, be mature, Guys :)